Fenomena flexing, atau pamer kekayaan di media sosial, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya digital saat ini. Gambar-gambar liburan mewah, mobil sport, dan barang-barang bermerek yang dipamerkan oleh influencer atau selebriti menciptakan ilusi kesuksesan yang mudah diraih. Paparan terus-menerus terhadap citra kemewahan ini secara langsung memicu hasrat Konsumerisme di kalangan generasi muda. Tekanan untuk terlihat sukses di dunia maya ini mendorong pengeluaran yang tidak rasional.
Konsumerisme di kalangan anak muda saat ini tidak lagi didorong oleh kebutuhan fungsional, melainkan oleh kebutuhan akan validasi sosial. Memiliki barang-barang tertentu, seperti ponsel terbaru atau pakaian dari merek tertentu, dianggap sebagai syarat untuk diterima dalam kelompok sosial. Fenomena ini mengubah nilai diri, di mana harga diri seseorang diukur berdasarkan apa yang mereka miliki, bukan siapa mereka sebenarnya.
Media sosial, dengan algoritmanya yang adiktif, bertindak sebagai katalisator utama Konsumerisme. Iklan yang dipersonalisasi dan konten yang direkomendasikan secara terus-menerus memaparkan produk yang didambakan. Generasi muda, yang kemampuan literasi finansialnya masih rendah, mudah terjerat dalam jebakan utang demi mengikuti tren gaya hidup mewah yang seringkali palsu.
Bahaya Konsumerisme ini meluas hingga ke sektor keuangan pribadi. Banyak anak muda dan bahkan remaja terpaksa berutang, mengambil pinjaman online ilegal, atau bekerja sampingan secara ekstrem hanya untuk membeli barang-barang yang dipamerkan di media sosial. Hal ini menunjukkan korelasi antara tekanan sosial-digital yang mendorong mereka melakukan tindakan finansial demi citra yang dipaksakan.
Penting bagi lembaga pendidikan dan keluarga untuk mengajarkan literasi finansial sejak dini. Generasi muda perlu memahami perbedaan antara aset dan liabilitas, serta bahaya dari hedonic treadmill atau kepuasan sesaat. Pendidikan ini adalah benteng pertahanan utama untuk melawan budaya flexing yang tidak realistis.
Pemerintah dan otoritas pengawas harus lebih tegas mengatur influencer dan iklan di media sosial. Diperlukan transparansi yang jelas antara konten yang disponsori dan konten pribadi. Aturan ini akan membantu mengurangi manipulasi dan mengurangi tekanan untuk melakukan pembelian impulsif yang didorong oleh endorsement yang tersembunyi.
Masyarakat perlu didorong untuk mengapresiasi nilai-nilai non-material, seperti pengalaman, keterampilan, dan kontribusi sosial. Perubahan budaya dari berorientasi pada “memiliki” menjadi “menjadi” adalah kunci untuk melawan Konsumerisme yang berlebihan. Nilai-nilai ini akan membentuk pribadi yang lebih kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh penampilan luar.
Pada akhirnya, memerangi budaya Konsumerisme yang dipicu oleh flexing adalah tantangan kolektif. Dengan mengedepankan pendidikan finansial, transparansi media sosial, dan penanaman nilai-nilai yang benar, kita dapat membantu generasi muda membangun fondasi keuangan yang sehat dan membebaskan diri dari pencitraan yang merusak. Sumber
